Ketika Cinta Tak Bicara

memohon

Langit biru terang, bahkan awan seolah bergulungan menggoda… menampakkan kelembutannya serupa kapas yang melayang di angkasa. Pipi yang merona semburat merah muda berpadu warna bibir alami yang membingkai wajahnya. Langit semakin terang ketika langkahnya yang ringan, dan senyumnya mengembang menghampiriku di kedai langganan.

Memandang wajahnya selalu ada badai dihati lelakiku, bergelombang nyanyian samudra yang berbisik segala kata, semua suara dari rasa yang kutekan diam-diam.

” Tinggallah bersamaku, maukah menghabiskan waktu dengan lelaki yang telah lama mencintaimu ini, atau tinggalkan dia…” tidak ada yang terucapkan, kata-kata itu hanya melayang diseantero pikiran dan perasaanku.

Jika boleh kuberangan, bulat matanya adalah rindu yang sunyi… yang mengundangku untuk berenang dan menyelami kedalamannya. Senyumnya adalah jendela, yang tanpa menarikku berhasil memenjaraku sekian lama. Canda dan debat kami adalah bahasa yang tak terjemahkan tidak hanya oleh kata, tapi sesuatu yang tak kasat mata. Mungkin tanpa aku sadari dalam dimensi yang lain, aku sudah menggengam jemarinya. Memandangnya dalam jarak yang tanpa angka, begitu dekat. Dia serupa udara yang harus kuhela sepanjang waktu.

” Menu makan siang kita lamunanmu kah ? ”

Aku tergagap, suaramu dan wajah keherananmu memaksaku bangun dari lamunan dan menemukanmu sudah duduk dihadapanku. Aku tersenyum, samar. Makan siang kita adalah kehampaan, bisikku dalam diam.

Seperti biasa sebutan sahabat pun tidak bisa membuatmu menjadi tak berjarak denganku, selalu ada batas tegas, selalu ada jeda yang membuatku seringkali diam tak kuasa. Selebihnya obrolan biasa, aku memandangnya lebih dalam kali ini. Merekam setiap inci dari shiluet wajahnya, bulat jendela hatinya, lekuk bibir dan jemarinya. Senyum dan candanya,…ketika sampai menu utama aku tercekat, ada nyeri yang sesaat melintas beraroma kehilangan.

” Kristal,… aku memutuskan akan menikah. Ada seorang wanita yang mau kunikahi dan lumayan cantik, tentu saja aku juga menyukainya ”

Wajahnya sesaat tampak terkejut, namun bibirnya yang melukis senyuman dengan mata yang berbinar membuatku patah hati.

” Aku senang, semoga berbahagia Re ”

Kalimatnya hanya itu, singkat tidak ada mata berkaca atau bibir tercekat.  Atau suara bergetar yang akan membuatku tinggal. Aku salah tentang ikatan tak kasat mata yang kami miliki selama ini. Kristal masih wanita dingin yang aku kenal belasan tahun lalu.

————————————————————————————————————-

” Dia menyerah,… ” bisik suara hatinya.

Kristal mengeluarkan amplop berisi permohonan cerainya dan melemparkannya ke dalam tong sampah, langkahnya masih teguh dan ringan. Hanya hatinya yang patah dan air matanya yang  jatuh…..

Leave a comment