Image by Google
” Maaf, waktu boleh berlalu Ra…tidak dengan rasaku, aku masih berdegup keras hanya dengan mengingatmu ”
Aku baca ulang sebaris kalimat pada layar handphone ku, terkirim sejak semalam dan kubiarkan usang tak mendapat balasan. Aku tak ingin menduga seseorang disana menunggu untuk sekedar sebuah balasan singkat.
Barisan kalimat dan curahan hatinya memenuhi seluruh timeline, bisikan rasanya tumpah ruah dalam aksara. Riangku hilang terbang. Ada yang mematikan, menumpulkan indera perasaku hingga beku tak lagi peka pada diksi atau puisi.
Aku tersentak, handphone ku nyaris jatuh bersamaan dering pesan menyergap.
” Padahal aku janji untuk tidak mengusikmu lagi, tapi kamu udara yang hampir separuh aku ada dalam hatiku. Maaf Ra,.. “
Ingatanku sumbang, bergantian dengan segala yang menjadi irama hidupku. Diamku membuatmu terjebak asa, padahal sejatinya aku hanyalah bayangan pada kotak kaca yang memberimu batas tegas pada sekat yang terbaca.
Diam bagiku adalah ketika bibirku tak ingin lagi menyampaikan, diam bagiku adalah ketika tak ada yang harus kubisikkan. Kuraih handphone yang sejak tadi menungguku. Pelan ku biarkan jemariku sekejap menari, pada pesan-pesan yang tak pernah terbalas.
” Aku serupa bayang-bayang, tidak pernah ada…dan tidak akan pernah menjadi nyata. Maaf untukmu adalah ketika kau berhenti untuk menyebut namaku “
Handphone mengirimkan pesan, hatiku berkembang. Suara rintik hujan perlahan memecah kesunyian, rinainya merdu memukul-mukul jendela. Aku hening pada udara hari ini, lebur dan terpesona pada kesetiaan hujan pada akar-akar dan bumi. Rindu pada puisi yang tidak bernama bait dan spasi, yang tak perlu ku eja karena syair dan metaphora. Cukup ku larung keteduhan pada mata sederhana itu,… pada mata lelakiku.